Postingan

Menampilkan postingan dari 2024

(Ringkas) Perihal Membaca

 Hmm.,  "Membaca seperti bertualang"—Ini ungkapku. Bertualang adalah menikmati perjalanan, dari awal mempersiapkan segala pendukung perjalanan, hingga menempuh perjalanan, kemudian tiba di tujuan destinasi.  Menikmati keindahannya, menyimpan momen dengan berfoto (biasanya sampai memori HP/kamera penuh atau kadang juga sampai baterainya habis). Yahh, selepas itu berakhir sudah. Di tumpahkan semuanya dalam ruang keindahan destinasi, kemudian kembali ke awal kita memulai—rumah. Kurang lebih mungkin seperti itulah rasa-rasanya membaca.  Jika di awal bertualang yang kau siapkan adalah perabotan, membaca hanya perlu menyiapkan niat dan rasa penasaran terus menerus sampai selesainya bacaan itu. Selepas membaca pun sama persis ketika engkau pulag bertualang, lelah. Dan lelahmu itu di buahi dengan kondisi yang baru pada dirimu.  Yahh, itulah alurnya. Setiap rasa penasaran pasti selalu ingin di obati dengan petualangan baru di destinasi baru. Setiap selesai dengan bacaan,...

Lalu

Lalu pada tawa ia berpesan.,  Melantun pada setiap sapa adalah kewajiban mu..  Mengoyak setiap sepi pada rasa yang tak tersentuh..  Lalu pada sunyi ia berkata.,  Tidakkah engkau tabu pada khiasan sepi mu yang terobati tawa..  Lalu.. Mengolok-ngolok setiap sendumu, merobek segala sesalmu, yang pada rasa itu engkau nubuatkan..  Tatkala waktu mengusik segalanya, beranjaklah..  Setiap daripadanya hanya di beri satu kesempatan.. Lalu..?

Lalu Kita ?

Tak guna menyangka pada yang tertera Menelisik pada umpama umpama Mengira adanya adalah riak kegelisahan dari segala rasa yang terungkap Rupa rupanya hanya keberadaan Menuangkan segalanya pada keresahan Waktu..  Rindu..  Dan senyum sapa di sela sela temu.  Hari hari adalah diri dari sepi Sunyi..  Dan bunyi yang tak enyah dari jejak jejak hati Tak mengira pada waktu yang menamatkan harinya Kita hanya lupa harus mengakui itu Nyata adalah semburan harapan Pada setiap pertemuan.. Pengakuan.. Dan perjalanan.. Mula mulanya bersembunyi Hingga tak menggelisahkan hati  Rupa adalah keduanya Hingga pada saatnya tiba Kita adalah gelisah yang menamatkan waktu di setiap temu Tanpa kepalsuan itu..

Lela(h)ki

Sedikit Lelaki dan kesemrawutan pikirannya. Bersenandung harap pada waktu, sedang yang lain menggebu-gebu. Mensiasati diri dengan segala umpama dan gelisah. Boleh kita berkenalan, nona? Ajak aku dengan senyum mu, itu mungkin singkat tapi aku tak Lelaki jika hanya tertawa memandangmu. Biarlah mencintai mu itu menjadi urusan ku, hingga aku selesai dan menaruhnya dengan rapi kembali dalam diamku.  Meski Lelaki adalah kebebasan yang menyertai pikirannya lantas mengharap tindakannya. Namun pasti, biarlah lupa dan diamku itu tumbuh, berakar dan menua, hingga berharap pun enggan menutur lisannya..

Sungguh!!

 Semenjana, Lelaki Itu Berseru !! "Kau kepalang, Sungguh! Tidak akan ada Minggu, Sabtu, atau apapun itu yang kau sebut waktu, sungguh. Semua hanya tentang hari ini, esok dan kau harus tetap hidup, sungguh. Semoga amin menyertai senyum mu. Itu ibadah, sungguh.." Acap kali kau mengucapnya setiap kali kita menyeduh tawa. Sungguh, tawa itu terlihat tidak biasa. Aku tau kau ingin menangis sekali waktu ketika kau sendiri, tapi itu bukan dirimu, kau adalah lelaki! Sungguh. Meski kalimat itu menyiksa, tapi kadang itu menjadi pertaruhan bagi lelaki perkasa nan tangguh, yang bertarung dengan waktu hingga tak mengenal muaranya. Lalu?—mestinya kita mengerti saja, bahwa kau kepalang, sungguh! Aku menyebut itu.